Running Teks

***Isi,bahasa sesuai dengan Buku "Dibawah Bendera Revolusi", hanya ejaan penulisan yang disempurnakan ***

Kamis, 20 Maret 2014

NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME (Bag.VII)


Kita yang bukan komunis pula, kitapun tak memihak pada siapa juga! Kita hanyalah memihak kepada Persatuan-persatuan-Indonesia, kepada persahabatan pergerakan kita semua.
Kita diatas menulis, bahwa taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan taktik marxisme yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti-kaum-kebangsaan dan anti-kaum-keagamaan, maka sekarang, terutama di Asia, sudahlah begitu berubah, hingga kesengitan “anti” ini sudah berbalik menjadi persahabatan dan penyokongan. Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis dinegeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis kaum Islamis dinegeri Afghanistan.
Adapun teori Marxisme sudah berubah pula. Memang seharusnya begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diubah, kalau zaman itu berubah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perubahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perubahan faham atau perubahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup. Bandingkanlah pendapat-pendapatnya samapai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti “Verelendung” sebagai yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis” dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam “Das Kapital”. –maka segeralah tampak pada kita perubahan faham atau perubahan perindahan itu. Bahwasanya : benarlah pendapat sosial-demokrat Emile Vandervelde, diamana ia mengatakan, bahwa “revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya”.
Perubahan taktik dan perubahan teori itulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxis yang “muda” baik “sabar” maupun yang “keras”, terutama di Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang sungguh-sungguh. Mereka mengerti, bahwa dinegeri-negeri Asia, dimana belum ada kaum proletar dalam arti sebagai di Eropa atau Amerika itu.pergerakannya harus diubah sifatnya menurut pergaulan-hidup di Asia itu pula. Mereka mengerti, bahwa pergerakan Marxistis di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan Marxis di Eropa atau Asia, dan haruslah “bekerja bersama-sama dengan partai-partai yang “klein-burgerlijk”, oleh karena disini yang pertama-tama perlu bukan kekuasaan tetapi ialah perlawanan terhadap pada feodalisme”.
Supaya kaum buruh dinegeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjalankan pergerakan yang sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negeri-negeri itu  merdeka, perlu sekali kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional). “Nationale autonomie adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjuangan proletar, oleh karena ia ada suatu upaya yang perlu sekali bagi politiknya”, begitulah Otto Bauer berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional ini menjadi suatu hal yang pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan-pergerakan buruh di Asia itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia itu wajib bekerja bersama-sama dengan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasional itu juga, dengan tidak menghitung-hitung, azas apakah pergerakan-pergerakan itu mempunyainya. Itulah sebabnya, maka pergerakan Marxisme di Indonesia ini harus pula menyokong pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis yang mengambil otonomi itu sebagai maksudnya pula
Kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakanya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme dihati-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya ialah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat di-“bawah” terhadap pada rakyat yang di-“atas”-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan pada nationale machtapolitiek dari rakyat sendiri. Mereka harus ingat, bahwa rasa-Internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak begitu tebal sebagai di Eropa, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima faham internasionalisme itu pertama-tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa Indonesia itu oleh “gehechtheid” pada negerinya, dan pula oleh kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja dilain-lain negeri, dengan itikad:”ubi bene, ibi patria: dimana aturan-kerja bagus, disitulah tanah-air saya”. –sebagai kaum buruh di Eropa yang menjadi tidak tetap-rumah dan tidak tetap tanah-air oleh karenanya.
Dan jikalau ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalistis adanya. Niscaya mereka ingat akan teladan-teladan pemimpin-pemimpin Marxis dilain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis dinegeri Tiongkok, yang dengan riho hati sama menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya. (ersambung...!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar