Kita yang bukan komunis pula, kitapun tak memihak pada siapa
juga! Kita hanyalah memihak kepada Persatuan-persatuan-Indonesia, kepada
persahabatan pergerakan kita semua.
Kita diatas menulis, bahwa taktik Marxisme yang sekarang
adalah berlainan dengan taktik marxisme yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu
sikapnya begitu sengit anti-kaum-kebangsaan dan anti-kaum-keagamaan, maka
sekarang, terutama di Asia, sudahlah begitu berubah, hingga kesengitan “anti”
ini sudah berbalik menjadi persahabatan dan penyokongan. Kita kini melihat
persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis dinegeri Tiongkok; dan kita
melihat persahabatan kaum Marxis kaum Islamis dinegeri Afghanistan.
Adapun teori Marxisme sudah berubah pula. Memang seharusnya
begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan
yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diubah, kalau
zaman itu berubah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perubahannya dunia,
kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal
ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perubahan
faham atau perubahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup.
Bandingkanlah pendapat-pendapatnya samapai tahun 1847; bandingkanlah
pendapatnya tentang arti “Verelendung” sebagai yang dimaksudkan dalam “Manifes
Komunis” dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam “Das Kapital”. –maka
segeralah tampak pada kita perubahan faham atau perubahan perindahan itu.
Bahwasanya : benarlah pendapat sosial-demokrat Emile Vandervelde, diamana ia
mengatakan, bahwa “revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi
dengan Marx dan Engels adanya”.
Perubahan taktik dan perubahan teori itulah yang menjadi
sebab, maka kaum Marxis yang “muda” baik “sabar” maupun yang “keras”, terutama
di Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang sungguh-sungguh. Mereka
mengerti, bahwa dinegeri-negeri Asia, dimana belum ada kaum proletar dalam arti
sebagai di Eropa atau Amerika itu.pergerakannya harus diubah sifatnya menurut
pergaulan-hidup di Asia itu pula. Mereka mengerti, bahwa pergerakan Marxistis
di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan Marxis di Eropa atau Asia,
dan haruslah “bekerja bersama-sama dengan partai-partai yang
“klein-burgerlijk”, oleh karena disini yang pertama-tama perlu bukan kekuasaan
tetapi ialah perlawanan terhadap pada feodalisme”.
Supaya kaum buruh dinegeri-negeri Asia dengan leluasa bisa
menjalankan pergerakan yang sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali
negeri-negeri itu merdeka, perlu sekali
kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional). “Nationale autonomie
adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjuangan proletar, oleh karena ia
ada suatu upaya yang perlu sekali bagi politiknya”, begitulah Otto Bauer
berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional ini menjadi suatu hal yang
pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan-pergerakan buruh di Asia itu.
Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia itu wajib bekerja bersama-sama dengan
menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasional itu juga, dengan tidak
menghitung-hitung, azas apakah pergerakan-pergerakan itu mempunyainya. Itulah
sebabnya, maka pergerakan Marxisme di Indonesia ini harus pula menyokong
pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis yang mengambil
otonomi itu sebagai maksudnya pula
Kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakanya itu, tak boleh
tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme dihati-sanubari kaum buruh
Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya ialah modal asing,
dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari
kaum-buruhnya rakyat di-“bawah” terhadap pada rakyat yang di-“atas”-nya, dan
menumbuhkan suatu keinginan pada nationale machtapolitiek dari rakyat sendiri.
Mereka harus ingat, bahwa rasa-Internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak
begitu tebal sebagai di Eropa, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima
faham internasionalisme itu pertama-tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena
bangsa Indonesia itu oleh “gehechtheid” pada negerinya, dan pula oleh
kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari
kerja dilain-lain negeri, dengan itikad:”ubi bene, ibi patria: dimana
aturan-kerja bagus, disitulah tanah-air saya”. –sebagai kaum buruh di Eropa
yang menjadi tidak tetap-rumah dan tidak tetap tanah-air oleh karenanya.
Dan jikalau ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka
niscaya ingat pula akan salahnya memerangi pergerakan bangsanya yang
nasionalistis adanya. Niscaya mereka ingat akan teladan-teladan
pemimpin-pemimpin Marxis dilain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama
dengan kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan
pemimpin-pemimpin Marxis dinegeri Tiongkok, yang dengan riho hati sama
menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri
Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional
adanya.
Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan
berbenturan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. Tak pantas mereka
memerangi suatu pergerakan yang sebagaimana sudah kita uraikan diatas, dengan
seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi suatu
pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga dengan
seterang-terangnya ialah anti-meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi
suatu pergerakan yang dengan seterang-terangnya mengejar kemerdekaan, persamaan
dan persaudaraan, dengan seterang-terangnya mengejar nationale autonomie. Tak
pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme-baru terhadap
agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme-dulu. Marxisme-baru adalah
berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam “Manifes Komunis”
mengatakan, bahwa agama itu harus di-“abschaffen” atau dilepaskan adanya.
Kita harus membedakan Historis-Materialisme itu daripada
Wijsgerig-Materialisme; kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya
Historis-Materialisme itu berlainan daripada maksudnya Wijsgerig-Materialisme
tadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas pertanyaan : bagaimanakah hubungannya
antara pikiran (denken) dengan benda (materie), bagaimanakah pikiran itu
terjadi, sedang Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal : sebab apakah
pikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini; historis-materialisme
menanyakan sebab-sebanya pikiran itu berubah; wijsgerig-materialisme mencari
asalnya pikiran, historis-materialisme mempelajari tumbuhnya pikiran;
wijsgerig-materialisme adalah wijsgerig, historis-materialisme adalah historis.
Dua faham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropa,
terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan
satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti-henti
mengusahakan kekeliruan faham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh,
bahwa kaum Marxisme itu ialah kaum yang mempelajarkan, bahwa pikiran itu
hanyalah suatu pengeluaran saja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai
empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum
yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi.
Itulah asalnya kebencian kaum Marxis Eropa terhadap kaum
gereja, asalnya sikap perlawanan kaum Marxis Eropa terhadap kaum agama. Dan
perlawanan ini bertambah sengitnya, bertambah kebenciannya, dimana kaum gerja
itu memakai-makai agamanya untuk melindung-lindungi kapitalisme, memakai-makai
agamanya untuk membela keperluan kaum atasan,memakai-makai agamanya untuk
menjalankan politik yang reaksioner sekali.
Adapun kebencian pada kaum agama yang timbulnya dari sikap
kaum gereja yang reaksioner itu, sudah dijatuhkan pula oleh kaum Marxis kepada
kaum agama Islam, yang berlainan sekali sikapnya dan berlainan sekali sifatnya
dengan kaum gereja di Eropa itu. Disini agama Islam adalah agama kaum yang tak
merdeka; disini agama Islam adalah agama kaum yangdi-”bawah”. Sedangkan
kaum yang memeluk agama Kristen adalah
kaum yang bebas; disana agama Kristen adalah agama kaum yang di-“atas”. Tak
boleh tidak, suatu agama yang anti-kapitalisme, agama kaum yang tak merdeka,
agama kaum yang di-“bawah” ini ; agama yang menyuruh mencari kebebasan, agama
yang melarang menjadi kaum “bawahan”. –agama yang demikian itu pastilah
menimbulkan sikap yang tidak reaksioner, dan pastilah menimbulkan suatu
perjuangan yang dalam beberapa bagian sesuai dengan perjuangan Marxisme itu.
Karenanya, jikalau kaum Marxisme ingat akan perbedaan kaum
gereja di Eropa dengan kaum Islam di Indonesia ini, maka niscaya mereka
mengajukan tangannya, sambil berkata: saudara, marilah kita bersatu. Jikalau
mereka menghargai akan contoh-contoh saudara-saudaranya seazas yang sama
bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi dilain-lain
negeri, maka niscayalah mereka mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan jikalau
mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-bersama dengan kauam Nasionalis atau
kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram-hati boleh berkata: kewajiban kita
sudah kita penuhi.
Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tadi itu,
dengan memperhatikan segala perubahan teori azasnya , dengan menjalankan segala
perubahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menyebutkan diri pembela
rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya rakyat.
Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang
kolot-teori dan kuno-taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis
dan Islamis yang sungguh-sungguh, -Marxis yang demikian itu janganlah merasa
terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun rakyat adanya !
Tulisan kita hampir habis.
Dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kita mencoba
membuktikan, bahwa faham Nasionalisme,Islamisme dan Marxisme itu dalam negeri
jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Dengan jalan yang jauh
kurang sempurna kita menunjukkan teladan pemimpin-pemimpin dilain negeri.
Tetapi kita yakin, bahwa kita dengan terang benderang menunjukkan kemauan kita
menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya insyaf,
bahwa persatuanlah yang membawa kita kearah ke-besaran dan ke-merdekaan. Dan
kita yaki pula, bahwa, walaupun pikiran kita itu tidak mencocoki semua kemauan
dari masing-masing pihak, ia menunjukkan bahwa persatuan itu bisa tercapai.
Sekarang tinggal menetapkan saja organisasinya, bagaimana Persatuan itu bisa
berdiri; tinggal mencari organisatornya saja, yang menjadi Mahatma persatuan
itu. Apakah Ibu-Indonesia, yang mempunyai putra-putra sebagai Umar Sai
Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusmo dan Samaun. –apakah Ibu-Indonesia tak
mempunyai pula putra yang bisa menjadi kampiun persatuan itu ?
Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa
memberi. Inilah rahasianya persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau
masing-masing pihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula.
Dan jikalau kita semua insyaf, bahwa kekuatan hidup itu
letaknya tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insyaf,
bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita
semua insyaf, bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya “via
dolorosa”; jikalau kita insyaf, bahwa Ruh Rakyat kita masih penuh kekuatan
untuk menjunjung diri menuju Sinar yang Satu yang berada ditengah-tengah
kegelapan-gumpita yang mengelilingi kita ini. –maka pastilah persatuan itu
terjadi, dan pastilah Sinar itu tercapai juga.
Sebab Sinar itu dekat
!
“Suluh Indonesia Muda”, 1926
Tidak ada komentar:
Posting Komentar