Running Teks

***Isi,bahasa sesuai dengan Buku "Dibawah Bendera Revolusi", hanya ejaan penulisan yang disempurnakan ***

Jumat, 21 Maret 2014

NASIONALISME, ISLAMISME DAN MARXISME (Selesai)



Kita yang bukan komunis pula, kitapun tak memihak pada siapa juga! Kita hanyalah memihak kepada Persatuan-persatuan-Indonesia, kepada persahabatan pergerakan kita semua.
Kita diatas menulis, bahwa taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan taktik marxisme yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti-kaum-kebangsaan dan anti-kaum-keagamaan, maka sekarang, terutama di Asia, sudahlah begitu berubah, hingga kesengitan “anti” ini sudah berbalik menjadi persahabatan dan penyokongan. Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis dinegeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis kaum Islamis dinegeri Afghanistan.
Adapun teori Marxisme sudah berubah pula. Memang seharusnya begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diubah, kalau zaman itu berubah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perubahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perubahan faham atau perubahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup. Bandingkanlah pendapat-pendapatnya samapai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti “Verelendung” sebagai yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis” dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam “Das Kapital”. –maka segeralah tampak pada kita perubahan faham atau perubahan perindahan itu. Bahwasanya : benarlah pendapat sosial-demokrat Emile Vandervelde, diamana ia mengatakan, bahwa “revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya”.
Perubahan taktik dan perubahan teori itulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxis yang “muda” baik “sabar” maupun yang “keras”, terutama di Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang sungguh-sungguh. Mereka mengerti, bahwa dinegeri-negeri Asia, dimana belum ada kaum proletar dalam arti sebagai di Eropa atau Amerika itu.pergerakannya harus diubah sifatnya menurut pergaulan-hidup di Asia itu pula. Mereka mengerti, bahwa pergerakan Marxistis di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan Marxis di Eropa atau Asia, dan haruslah “bekerja bersama-sama dengan partai-partai yang “klein-burgerlijk”, oleh karena disini yang pertama-tama perlu bukan kekuasaan tetapi ialah perlawanan terhadap pada feodalisme”.
Supaya kaum buruh dinegeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjalankan pergerakan yang sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negeri-negeri itu  merdeka, perlu sekali kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional). “Nationale autonomie adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjuangan proletar, oleh karena ia ada suatu upaya yang perlu sekali bagi politiknya”, begitulah Otto Bauer berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional ini menjadi suatu hal yang pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan-pergerakan buruh di Asia itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia itu wajib bekerja bersama-sama dengan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasional itu juga, dengan tidak menghitung-hitung, azas apakah pergerakan-pergerakan itu mempunyainya. Itulah sebabnya, maka pergerakan Marxisme di Indonesia ini harus pula menyokong pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis yang mengambil otonomi itu sebagai maksudnya pula
Kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakanya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme dihati-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya ialah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat di-“bawah” terhadap pada rakyat yang di-“atas”-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan pada nationale machtapolitiek dari rakyat sendiri. Mereka harus ingat, bahwa rasa-Internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak begitu tebal sebagai di Eropa, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima faham internasionalisme itu pertama-tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa Indonesia itu oleh “gehechtheid” pada negerinya, dan pula oleh kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja dilain-lain negeri, dengan itikad:”ubi bene, ibi patria: dimana aturan-kerja bagus, disitulah tanah-air saya”. –sebagai kaum buruh di Eropa yang menjadi tidak tetap-rumah dan tidak tetap tanah-air oleh karenanya.
Dan jikalau ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalistis adanya. Niscaya mereka ingat akan teladan-teladan pemimpin-pemimpin Marxis dilain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis dinegeri Tiongkok, yang dengan riho hati sama menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya.
Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbenturan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. Tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang sebagaimana sudah kita uraikan diatas, dengan seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga dengan seterang-terangnya ialah anti-meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan seterang-terangnya mengejar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, dengan seterang-terangnya mengejar nationale autonomie. Tak pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme-baru terhadap agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme-dulu. Marxisme-baru adalah berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam “Manifes Komunis” mengatakan, bahwa agama itu harus di-“abschaffen” atau dilepaskan adanya.
Kita harus membedakan Historis-Materialisme itu daripada Wijsgerig-Materialisme; kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan daripada maksudnya Wijsgerig-Materialisme tadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas pertanyaan : bagaimanakah hubungannya antara pikiran (denken) dengan benda (materie), bagaimanakah pikiran itu terjadi, sedang Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal : sebab apakah pikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini; historis-materialisme menanyakan sebab-sebanya pikiran itu berubah; wijsgerig-materialisme mencari asalnya pikiran, historis-materialisme mempelajari tumbuhnya pikiran; wijsgerig-materialisme adalah wijsgerig, historis-materialisme adalah historis.
Dua faham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropa, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti-henti mengusahakan kekeliruan faham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu ialah kaum yang mempelajarkan, bahwa pikiran itu hanyalah suatu pengeluaran saja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi.
Itulah asalnya kebencian kaum Marxis Eropa terhadap kaum gereja, asalnya sikap perlawanan kaum Marxis Eropa terhadap kaum agama. Dan perlawanan ini bertambah sengitnya, bertambah kebenciannya, dimana kaum gerja itu memakai-makai agamanya untuk melindung-lindungi kapitalisme, memakai-makai agamanya untuk membela keperluan kaum atasan,memakai-makai agamanya untuk menjalankan politik yang reaksioner sekali.
Adapun kebencian pada kaum agama yang timbulnya dari sikap kaum gereja yang reaksioner itu, sudah dijatuhkan pula oleh kaum Marxis kepada kaum agama Islam, yang berlainan sekali sikapnya dan berlainan sekali sifatnya dengan kaum gereja di Eropa itu. Disini agama Islam adalah agama kaum yang tak merdeka; disini agama Islam adalah agama kaum yangdi-”bawah”. Sedangkan kaum  yang memeluk agama Kristen adalah kaum yang bebas; disana agama Kristen adalah agama kaum yang di-“atas”. Tak boleh tidak, suatu agama yang anti-kapitalisme, agama kaum yang tak merdeka, agama kaum yang di-“bawah” ini ; agama yang menyuruh mencari kebebasan, agama yang melarang menjadi kaum “bawahan”. –agama yang demikian itu pastilah menimbulkan sikap yang tidak reaksioner, dan pastilah menimbulkan suatu perjuangan yang dalam beberapa bagian sesuai dengan perjuangan Marxisme itu.
Karenanya, jikalau kaum Marxisme ingat akan perbedaan kaum gereja di Eropa dengan kaum Islam di Indonesia ini, maka niscaya mereka mengajukan tangannya, sambil berkata: saudara, marilah kita bersatu. Jikalau mereka menghargai akan contoh-contoh saudara-saudaranya seazas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi dilain-lain negeri, maka niscayalah mereka mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-bersama dengan kauam Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram-hati boleh berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi.
Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tadi itu, dengan memperhatikan segala perubahan teori azasnya , dengan menjalankan segala perubahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menyebutkan diri pembela rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya rakyat.
Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot-teori dan kuno-taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh, -Marxis yang demikian itu janganlah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun rakyat adanya !
Tulisan kita hampir habis.
Dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kita mencoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme,Islamisme dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita menunjukkan teladan pemimpin-pemimpin dilain negeri. Tetapi kita yakin, bahwa kita dengan terang benderang menunjukkan kemauan kita menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya insyaf, bahwa persatuanlah yang membawa kita kearah ke-besaran dan ke-merdekaan. Dan kita yaki pula, bahwa, walaupun pikiran kita itu tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing pihak, ia menunjukkan bahwa persatuan itu bisa tercapai. Sekarang tinggal menetapkan saja organisasinya, bagaimana Persatuan itu bisa berdiri; tinggal mencari organisatornya saja, yang menjadi Mahatma persatuan itu. Apakah Ibu-Indonesia, yang mempunyai putra-putra sebagai Umar Sai Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusmo dan Samaun. –apakah Ibu-Indonesia tak mempunyai pula putra yang bisa menjadi kampiun persatuan itu ?
Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya persatuan itu. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-masing pihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula.
Dan jikalau kita semua insyaf, bahwa kekuatan hidup itu letaknya tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insyaf, bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf, bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya “via dolorosa”; jikalau kita insyaf, bahwa Ruh Rakyat kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju Sinar yang Satu yang berada ditengah-tengah kegelapan-gumpita yang mengelilingi kita ini. –maka pastilah persatuan itu terjadi, dan pastilah Sinar itu tercapai juga.
Sebab  Sinar itu dekat !


“Suluh Indonesia Muda”, 1926

Tidak ada komentar:

Posting Komentar