Bukti atas
perhubungan antara tambahnya penduduk (bevolkingsaanwas) dengan aturan politik
atau susunan ekonomi diatas ini, adalah perlu sekali, oleh karena setengah
orang mengira, bahwa, - oleh sebab menurut pendapatnya overbevolking itu
terjadinya hanya karena tambahnya penduduk yang terlampau itu saja-, penyakit
itu bisa kita obati dengan mencegah bevolkingsaanwas itu pula. Mereka mengira,
bahwa bahaya overbevolking ini bisa dicegahnya dengan memberi pendidikan pada
rakyat supaya mengurangi nafsunya mengadakan turunan. Mereka tak mengerti,
bahwa “obat “ini mustahil bisa terjadi. Tak mengerti, bahwa pendidikan mencegah
turunan ini akan hancur dan binasa berbentusan dengan tabiatnya manusia; tak
mengerti, bahwa jalan yang satu-satunya untuk mencegah tambahnya penduduk itu
ialah penindasan dan perasan saja, yang lebih sangat dan lebih keras daripada
tindasan dan perasan cultuurstelsel umpamanya!
www.pikiransoekarno.blogspot.com
Kembali lagi pada
penyelidikan kita: Diatas kita sudah menulis bahwa, kalau bisa, kita setuju
akan emigrasi yang secepat-cepatnya kelain pulau Indonesia. Tetapi kita tak percaya,
bahwa hapusnya poenale sanctie itu saja bisa menarik beratus-ratus ribu manusia
dari tanah Jawa, walaupun “akal” atau “sokongan” yang bagaimana juga. Kita tak
percaya atasnya, oleh karena, sebagai yang sudah kita terangkan diatas,
emigrasi itu ialah suatu kejadian yang tergantung dari rezeki. Artinya: Selama
suatu rakyat dalam negerinya sendiri masih ada “jalan” dalam pencariannya
rezeki, selama rakyat itu masih bisa mencari “akal” dinegerinya sendiri dalam
urusan penghidupannya, - selama itu, maka walaupun “jalan” atau “akal” itu
kiranya ada sukar dan susah, tidaklah rakyat itu meninggalkan negerinya untuk
mencari penghidupan dinegeri jauh. Selama rakyat tanah Jawa masih ada “jalan”
dan “akal”itu - , selama itu maka, walaupun keadaan ekonominya sudah sengsara
atau lehernya hampir tercekik sebagai keadaan sekarang ini, jumlah emigran
tentulah tetap kecil saja. Selama itu, maka, walaupun kita berusaha keras untuk
emigrasi itu, pastilah tetap kecil saja hasil segala usaha kita itu. Sebab
begitulah memang tabiatnya rakyat!
Riwayat emigrasi
mengajarkan pada kita, bahwa emigrasi itu hanyalah bisa terjadi dengan
sungguh-sungguh, jikalau segala sumber penghidupan dinegeri sendiri memang
sudah tertutup sama sekali adanya. Akan tetapi, bilamana emigrasi itu sudah
terjadi; bilamana pada sesuatu masa beratus-ratus ribu atau berjuta-juta rakyat
sudah sama meninggalkan negerinya untuk mencari penghidupan dinegeri lain, maka
riwayat -dunia menunjukkan, bahwa aliran rakyat-pindah itu pada suatu ketika
berhenti pula. Sebab dalam pada itu, negeri sendiri lalu berubah pula. Dalam
pada itu, negeri sendiri lalu mengadakan perubahan dalam caranya mencari
rezeki: mengadakan perbaikan cara bertani, mengadakan perbaikan pertukangan
(nijverheid); dan mulailah dalam negeri itu timbul suatu kepabrikan (industri),
yang memberi kerja dan penghidupan pada bagian rakyat yang masih “lebih”,
sehingga “kelebihan” rakyat ini seolah-olah diisap lagi oleh pergaulan hidup
dinegeri sendiri tadi adanya. Kita mengambil pelajaran dari riwayat-dunia,
bahwa semua emigrasi itu terjadinya ialah dalam masa, yang mendahului suburnya
cara pencarian rezeki atau suburnya kepabrikan dalam negeri dari rakyat yang
beremigrasi itu. Kita melihat emigrasi itu pada rakyat Inggris pada masa
sebelum 1860, dimana industri Inggris mulai menjadi besar. Kita melihat
pindahan-rakyat Jerman dan Prancis pada waktu sebelum 1880, dimana kepabrikan
Jerman dan Prancis mulai subur. Dan kita melihat bahwa timbulnya kepabrikan
dinegeri Jepang itu ialah didahului oleh emigrasi juga adanya. Dan tidakkah
transmigrasi dari daerah Kedu itu makin lama makin kurang, sesudah rakyat Kedu
dengan usaha sendiri mengadakan cara pertanian yang lebih menghasilkan;
tidakkah, semenjak perbaikan cara pertanian ini diadakan, transmigrasi dari
Kedu itu makin lama makin kurang, walaupun Kedu iu sesaknya penduduk dalam 1920
sudah sampai 497 jiwa rata-rata sekilometer perseginya?
Pelajaran yang kita
ambil dari fatsal diatas ini ialah bahwa
emigrasi itu tidak bisa terjadi sesungguh-sunguhnya jikalau memang belum
temponya.Kita melihat, bahwa di negeri Inggris, dinegeri Jerman, dinegeri
Perancis, dinegeri Jepang, emigrasi itu ialah pendahuluannya masa kepabrikan,
dan menjadi penolong masa-kekurangan-makan yang ada dimuka masa kepabrikan itu.
Tegasnya: emigrasi itu ialah terikat oleh tempo ; emigrasi itu tidak bisa kita
adakan dalam sewaktu-waktu saja kalu memang belum musimnya,walaupun kita
menyokong bagaimana juga.Emigrasi itu akan terjadi sendiri kalau memang
temponya sudah datang. . . .
www.pikiransoekarno.blogspot.com
Dalam pada itu,maka
tidaklah kita mengatakan, bahwa kita tidak boleh dan tak harus meratakan jalan
untuk emigrasi itu.Sebaliknya: Kita harus bersedia dan kita harus
mengaturnya,agar supaya emigrasi itu bisa terjadi dengan gampang dan lekas,
nanti kalau temponya sudah datang.Dan tempo itu pastilah datang,oleh karena
pergaulan hidup bersama ialah suatu hal yang hidup pula, dan yang senantiasa
menuju susunan hidup-bersama ditanah Jawa ini,menurut hukum evolusi ,pasti pula
meninggalkan tingkat yang sekarang ini , dan pastilah naik yang ketingkat yang
kemudian,yakni:pasti meninggalkan tingkat pertanian yang sekarang ini dan pasti
menaik ketingkat kepabrikan.Dan sebelum tingkat kepabrikan itu tercapai,maka
lebih dulu terasa penyakit overbevolking itu dengan sekeras-kerasnya;sebelum
tingkat yang sekarang ini ditinggalkan,sebelum tingkat kepabrikan itu
tercapai,maka haruslah pergaulan hidup tanah Jawa itu melalui
tingkat-perubahan,-overgangshpase-,lebih dahulu.Dan tingkat-perubahan ini ialah
masa menghaibatnya overbevolking tadi;overgangshpase ini ialahmasa dimana
sebagian rakyat tanah Jawa,dari kerasnya overbevolking tadi,sama pindah kelain
pulau untuk mencari pekerjaan dan untuk mencari penghidupan.
www.pikiransoekarno.blogspot.com
Akan tetapi, jikalau
dalam pada masa emigrasi itu cara pencarian rezeki di tanah Jawa sudah
memperbaiki diri sendiri; jikalau kebutuhan akan cara pencarian rezeki yang
lebih baik itu sudah mendatangkan perbaikan dalam cara pertanian; jikalau tanah
Jawa sudah mulai menginjak tingkat kepabrikan; - maka berhentilah pula emigrasi
itu, dan berhentilah pula keharusan akan mencari rezeki dinegeri lain.
sebab,sebagai yang sudah kita terangkan dimuka,pergaulan hidup sendiri lantas
“mengisap” bagian rakyat yang “lebih” itu!
Sekali lagi kita
mengulangi:Emigrasi ialah suatu “maatschappelijk verschijnsel”,yang mulainya
atau berhentinya ditetapkan oleh masyarakat sendiri itu juga.Karenanya,maka
kita tidak percaya akan bisa terjadinya emigrasi yang sungguh-sungguh,jikalau
memang belum temponya,yakni jikalau pergaulan hidup di tanah Jawa belum memaksa
sendiri akan emigrasi itu dengan
kekuatannya keharusan yang tak terhingga adanya!
www.pikiransoekarno.blogspot.com
Akan tetapi,bolehkah
kita berdiam-diam saja membiarkan kemelaratan yang sekarang ini,sampai emigrasi
itu terjadi sendiri;bolehkah kita tidak berusaha meringankan penghidupan rakyat
itu,dan tidak melalui segenap jalan wajib kita lalui
Tidak,tidak,dan
sekali lagi:tidak!
www.pikiransoekarno.blogspot.com
Kita harus memerangi
segala keadaan yang menambahkemelaratan rkyat itu;memerangi segala hal-hal yang
memberatkan penghidupannya rakyat,yang karena terlalu besarnya bevolkingsaanwas
(tambahnya penduduk), memang sudah berat adanya; memerangi segala hal-hal yang
mengecilkan persediaan rezeki rakyat tadi.
www.pikiransoekarno.blogspot.com
Sebab, asal rezeki
cukup, asal makanan tak kurang, maka sebagai yang kita terangkan dimuka, tak
akanlah rakyat menderita tak kecukupan dan kekurangan, tak akanlah
overbevolking terasa, walaupun bevolkingsaanwas yang bagaimana juga. Karenanya,
haruslah kita melawan segala keadaan yang mengecilkan persediaan makanan rakyat
itu. Dan teristimewa, haruslah kita memerangi industri gula adanya.
www.pikiransoekarno.blogspot.com
Sebab kita
mengetahui bahwa industri ini, walaupun pembela-pembelanya mengatakan, bahwa
“industri ini memberi begitu banyak uang pada sebagian penduduk Jawa”, dengan
“memberi begitu banyak uang” pada orang-orang itu,- hal ini belum tentu berapa
“banyaknya”-, walaupun oleh Schmalhausen dihitung berjumlah empat puluh juta
rupiah setahunnya, ada menimbulkan suatu golongan – rakyat dalam pergaulan
hidup tanah Jawa yang terpadamkan kebutuhannya akan menaikkan pergaulan hidup
itu keatas tingkat yang lebih tinggi, sedang kebutuhan inilah yang harus ada
untuk kenaikan itu. Kita mengetahui bahwa industri ini merusak morilnya
sebagian penduduk tanah Jawa; mengetahui, bahwa atura menanam tebu sekali dalam
tiga tahun diatas satu tepat itu adalah suatu aturan yang memberi keuntungan
pada industri itu dengan percuma, mengetahui, bahwa industri ini tak senang
akan majunya negeri dan rakyat, oleh sebab kemajuan ini tentu menaikkan
upah-upah dan sewa-sewa, lantaran kemajuan itu menambah besarnya kebutuhan
rakyat. Dan tidakkah banyak pula keberatan-keberatan atas industri ini?
Tidakkah ia dengan aturan-aturan-premi telah mengotorkan hubungan kepala-kepala
desa dan rakyat? Tidakkah ia mengecilkan “gemiddeld gronbezit” (milik tanah
rata-rata) sikaum tani? Tidakkah penyewaan tanah ini membikin banyak orang tani
menjadi kaum buruh? Tidakkah hati kita panas kalau kita memekirkan aturan “dag-
en nachtregeling” (aturan siang dan malam), yakni aturan menurut yang mana
tanaman tebu mendapat air waktu siang dan tanaman padi waktu malam? Tidakkah
tanah yang dulunya ditanami tebu menjadi kurang baik bagi tanaman padi?
Tidakkah industri ini menghisap berjuta-juta rupiah dari pegaulan hidup tanah
Jawa? Pendek kata: tidakkah industri ini jauh dari mengayakan, bahkan memelaratkan
tanah Jawa? .................(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar