Running Teks

***Isi,bahasa sesuai dengan Buku "Dibawah Bendera Revolusi", hanya ejaan penulisan yang disempurnakan ***

Senin, 24 Maret 2014

DIMANAKAH TINJUMU ...? ( Bag.II )

Bukti atas perhubungan antara tambahnya penduduk (bevolkingsaanwas) dengan aturan politik atau susunan ekonomi diatas ini, adalah perlu sekali, oleh karena setengah orang mengira, bahwa, - oleh sebab menurut pendapatnya overbevolking itu terjadinya hanya karena tambahnya penduduk yang terlampau itu saja-, penyakit itu bisa kita obati dengan mencegah bevolkingsaanwas itu pula. Mereka mengira, bahwa bahaya overbevolking ini bisa dicegahnya dengan memberi pendidikan pada rakyat supaya mengurangi nafsunya mengadakan turunan. Mereka tak mengerti, bahwa “obat “ini mustahil bisa terjadi. Tak mengerti, bahwa pendidikan mencegah turunan ini akan hancur dan binasa berbentusan dengan tabiatnya manusia; tak mengerti, bahwa jalan yang satu-satunya untuk mencegah tambahnya penduduk itu ialah penindasan dan perasan saja, yang lebih sangat dan lebih keras daripada tindasan dan perasan cultuurstelsel umpamanya!
  www.pikiransoekarno.blogspot.com
Kembali lagi pada penyelidikan kita: Diatas kita sudah menulis bahwa, kalau bisa, kita setuju akan emigrasi yang secepat-cepatnya kelain pulau Indonesia. Tetapi kita tak percaya, bahwa hapusnya poenale sanctie itu saja bisa menarik beratus-ratus ribu manusia dari tanah Jawa, walaupun “akal” atau “sokongan” yang bagaimana juga. Kita tak percaya atasnya, oleh karena, sebagai yang sudah kita terangkan diatas, emigrasi itu ialah suatu kejadian yang tergantung dari rezeki. Artinya: Selama suatu rakyat dalam negerinya sendiri masih ada “jalan” dalam pencariannya rezeki, selama rakyat itu masih bisa mencari “akal” dinegerinya sendiri dalam urusan penghidupannya, - selama itu, maka walaupun “jalan” atau “akal” itu kiranya ada sukar dan susah, tidaklah rakyat itu meninggalkan negerinya untuk mencari penghidupan dinegeri jauh. Selama rakyat tanah Jawa masih ada “jalan” dan “akal”itu - , selama itu maka, walaupun keadaan ekonominya sudah sengsara atau lehernya hampir tercekik sebagai keadaan sekarang ini, jumlah emigran tentulah tetap kecil saja. Selama itu, maka, walaupun kita berusaha keras untuk emigrasi itu, pastilah tetap kecil saja hasil segala usaha kita itu. Sebab begitulah memang tabiatnya rakyat!

Riwayat emigrasi mengajarkan pada kita, bahwa emigrasi itu hanyalah bisa terjadi dengan sungguh-sungguh, jikalau segala sumber penghidupan dinegeri sendiri memang sudah tertutup sama sekali adanya. Akan tetapi, bilamana emigrasi itu sudah terjadi; bilamana pada sesuatu masa beratus-ratus ribu atau berjuta-juta rakyat sudah sama meninggalkan negerinya untuk mencari penghidupan dinegeri lain, maka riwayat -dunia menunjukkan, bahwa aliran rakyat-pindah itu pada suatu ketika berhenti pula. Sebab dalam pada itu, negeri sendiri lalu berubah pula. Dalam pada itu, negeri sendiri lalu mengadakan perubahan dalam caranya mencari rezeki: mengadakan perbaikan cara bertani, mengadakan perbaikan pertukangan (nijverheid); dan mulailah dalam negeri itu timbul suatu kepabrikan (industri), yang memberi kerja dan penghidupan pada bagian rakyat yang masih “lebih”, sehingga “kelebihan” rakyat ini seolah-olah diisap lagi oleh pergaulan hidup dinegeri sendiri tadi adanya. Kita mengambil pelajaran dari riwayat-dunia, bahwa semua emigrasi itu terjadinya ialah dalam masa, yang mendahului suburnya cara pencarian rezeki atau suburnya kepabrikan dalam negeri dari rakyat yang beremigrasi itu. Kita melihat emigrasi itu pada rakyat Inggris pada masa sebelum 1860, dimana industri Inggris mulai menjadi besar. Kita melihat pindahan-rakyat Jerman dan Prancis pada waktu sebelum 1880, dimana kepabrikan Jerman dan Prancis mulai subur. Dan kita melihat bahwa timbulnya kepabrikan dinegeri Jepang itu ialah didahului oleh emigrasi juga adanya. Dan tidakkah transmigrasi dari daerah Kedu itu makin lama makin kurang, sesudah rakyat Kedu dengan usaha sendiri mengadakan cara pertanian yang lebih menghasilkan; tidakkah, semenjak perbaikan cara pertanian ini diadakan, transmigrasi dari Kedu itu makin lama makin kurang, walaupun Kedu iu sesaknya penduduk dalam 1920 sudah sampai 497 jiwa rata-rata sekilometer perseginya?


Pelajaran yang kita ambil dari fatsal diatas ini  ialah bahwa emigrasi itu tidak bisa terjadi sesungguh-sunguhnya jikalau memang belum temponya.Kita melihat, bahwa di negeri Inggris, dinegeri Jerman, dinegeri Perancis, dinegeri Jepang, emigrasi itu ialah pendahuluannya masa kepabrikan, dan menjadi penolong masa-kekurangan-makan yang ada dimuka masa kepabrikan itu. Tegasnya: emigrasi itu ialah terikat oleh tempo ; emigrasi itu tidak bisa kita adakan dalam sewaktu-waktu saja kalu memang belum musimnya,walaupun kita menyokong bagaimana juga.Emigrasi itu akan terjadi sendiri kalau memang temponya sudah datang. . . .
  www.pikiransoekarno.blogspot.com
Dalam pada itu,maka tidaklah kita mengatakan, bahwa kita tidak boleh dan tak harus meratakan jalan untuk emigrasi itu.Sebaliknya: Kita harus bersedia dan kita harus mengaturnya,agar supaya emigrasi itu bisa terjadi dengan gampang dan lekas, nanti kalau temponya sudah datang.Dan tempo itu pastilah datang,oleh karena pergaulan hidup bersama ialah suatu hal yang hidup pula, dan yang senantiasa menuju susunan hidup-bersama ditanah Jawa ini,menurut hukum evolusi ,pasti pula meninggalkan tingkat yang sekarang ini , dan pastilah naik yang ketingkat yang kemudian,yakni:pasti meninggalkan tingkat pertanian yang sekarang ini dan pasti menaik ketingkat kepabrikan.Dan sebelum tingkat kepabrikan itu tercapai,maka lebih dulu terasa penyakit overbevolking itu dengan sekeras-kerasnya;sebelum tingkat yang sekarang ini ditinggalkan,sebelum tingkat kepabrikan itu tercapai,maka haruslah pergaulan hidup tanah Jawa itu melalui tingkat-perubahan,-overgangshpase-,lebih dahulu.Dan tingkat-perubahan ini ialah masa menghaibatnya overbevolking tadi;overgangshpase ini ialahmasa dimana sebagian rakyat tanah Jawa,dari kerasnya overbevolking tadi,sama pindah kelain pulau untuk mencari pekerjaan dan untuk mencari penghidupan.
  www.pikiransoekarno.blogspot.com
Akan tetapi, jikalau dalam pada masa emigrasi itu cara pencarian rezeki di tanah Jawa sudah memperbaiki diri sendiri; jikalau kebutuhan akan cara pencarian rezeki yang lebih baik itu sudah mendatangkan perbaikan dalam cara pertanian; jikalau tanah Jawa sudah mulai menginjak tingkat kepabrikan; - maka berhentilah pula emigrasi itu, dan berhentilah pula keharusan akan mencari rezeki dinegeri lain. sebab,sebagai yang sudah kita terangkan dimuka,pergaulan hidup sendiri lantas “mengisap” bagian rakyat yang “lebih” itu!
Sekali lagi kita mengulangi:Emigrasi ialah suatu “maatschappelijk verschijnsel”,yang mulainya atau berhentinya ditetapkan oleh masyarakat sendiri itu juga.Karenanya,maka kita tidak percaya akan bisa terjadinya emigrasi yang sungguh-sungguh,jikalau memang belum temponya,yakni jikalau pergaulan hidup di tanah Jawa belum memaksa sendiri  akan emigrasi itu dengan kekuatannya keharusan yang tak terhingga adanya!
  www.pikiransoekarno.blogspot.com
Akan tetapi,bolehkah kita berdiam-diam saja membiarkan kemelaratan yang sekarang ini,sampai emigrasi itu terjadi sendiri;bolehkah kita tidak berusaha meringankan penghidupan rakyat itu,dan tidak melalui segenap jalan wajib kita lalui
Tidak,tidak,dan sekali lagi:tidak!
  www.pikiransoekarno.blogspot.com
Kita harus memerangi segala keadaan yang menambahkemelaratan rkyat itu;memerangi segala hal-hal yang memberatkan penghidupannya rakyat,yang karena terlalu besarnya bevolkingsaanwas (tambahnya penduduk), memang sudah berat adanya; memerangi segala hal-hal yang mengecilkan persediaan rezeki rakyat tadi.
 www.pikiransoekarno.blogspot.com
Sebab, asal rezeki cukup, asal makanan tak kurang, maka sebagai yang kita terangkan dimuka, tak akanlah rakyat menderita tak kecukupan dan kekurangan, tak akanlah overbevolking terasa, walaupun bevolkingsaanwas yang bagaimana juga. Karenanya, haruslah kita melawan segala keadaan yang mengecilkan persediaan makanan rakyat itu. Dan teristimewa, haruslah kita memerangi industri gula adanya.
 www.pikiransoekarno.blogspot.com
Sebab kita mengetahui bahwa industri ini, walaupun pembela-pembelanya mengatakan, bahwa “industri ini memberi begitu banyak uang pada sebagian penduduk Jawa”, dengan “memberi begitu banyak uang” pada orang-orang itu,- hal ini belum tentu berapa “banyaknya”-, walaupun oleh Schmalhausen dihitung berjumlah empat puluh juta rupiah setahunnya, ada menimbulkan suatu golongan – rakyat dalam pergaulan hidup tanah Jawa yang terpadamkan kebutuhannya akan menaikkan pergaulan hidup itu keatas tingkat yang lebih tinggi, sedang kebutuhan inilah yang harus ada untuk kenaikan itu. Kita mengetahui bahwa industri ini merusak morilnya sebagian penduduk tanah Jawa; mengetahui, bahwa atura menanam tebu sekali dalam tiga tahun diatas satu tepat itu adalah suatu aturan yang memberi keuntungan pada industri itu dengan percuma, mengetahui, bahwa industri ini tak senang akan majunya negeri dan rakyat, oleh sebab kemajuan ini tentu menaikkan 
upah-upah dan sewa-sewa, lantaran kemajuan itu menambah besarnya kebutuhan rakyat. Dan tidakkah banyak pula keberatan-keberatan atas industri ini? Tidakkah ia dengan aturan-aturan-premi telah mengotorkan hubungan kepala-kepala desa dan rakyat? Tidakkah ia mengecilkan “gemiddeld gronbezit” (milik tanah rata-rata) sikaum tani? Tidakkah penyewaan tanah ini membikin banyak orang tani menjadi kaum buruh? Tidakkah hati kita panas kalau kita memekirkan aturan “dag- en nachtregeling” (aturan siang dan malam), yakni aturan menurut yang mana tanaman tebu mendapat air waktu siang dan tanaman padi waktu malam? Tidakkah tanah yang dulunya ditanami tebu menjadi kurang baik bagi tanaman padi? Tidakkah industri ini menghisap berjuta-juta rupiah dari pegaulan hidup tanah Jawa? Pendek kata: tidakkah industri ini jauh dari mengayakan, bahkan memelaratkan tanah Jawa? .................(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar