Pelajaran yang kita
ambil dari fatsal diatas ini ialah bahwa
emigrasi itu tidak bisa terjadi sesungguh-sunguhnya jikalau memang belum
temponya.Kita melihat, bahwa di negeri Inggris, dinegeri Jerman, dinegeri
Perancis, dinegeri Jepang, emigrasi itu ialah pendahuluannya masa kepabrikan,
dan menjadi penolong masa-kekurangan-makan yang ada dimuka masa kepabrikan itu.
Tegasnya: emigrasi itu ialah terikat oleh tempo ; emigrasi itu tidak bisa kita
adakan dalam sewaktu-waktu saja kalu memang belum musimnya,walaupun kita
menyokong bagaimana juga.Emigrasi itu akan terjadi sendiri kalau memang
temponya sudah datang. . . .
Dalam pada itu,maka
tidaklah kita mengatakan, bahwa kita tidak boleh dan tak harus meratakan jalan
untuk emigrasi itu.Sebaliknya: Kita harus bersedia dan kita harus
mengaturnya,agar supaya emigrasi itu bisa terjadi dengan gampang dan lekas,
nanti kalau temponya sudah datang.Dan tempo itu pastilah datang,oleh karena
pergaulan hidup bersama ialah suatu hal yang hidup pula, dan yang senantiasa
menuju susunan hidup-bersama ditanah Jawa ini,menurut hukum evolusi ,pasti pula
meninggalkan tingkat yang sekarang ini , dan pastilah naik yang ketingkat yang
kemudian,yakni:pasti meninggalkan tingkat pertanian yang sekarang ini dan pasti
menaik ketingkat kepabrikan.Dan sebelum tingkat kepabrikan itu tercapai,maka
lebih dulu terasa penyakit overbevolking itu dengan sekeras-kerasnya;sebelum
tingkat yang sekarang ini ditinggalkan,sebelum tingkat kepabrikan itu
tercapai,maka haruslah pergaulan hidup tanah Jawa itu melalui
tingkat-perubahan,-overgangshpase-,lebih dahulu.Dan tingkat-perubahan ini ialah
masa menghaibatnya overbevolking tadi;overgangshpase ini ialahmasa dimana
sebagian rakyat tanah Jawa,dari kerasnya overbevolking tadi,sama pindah kelain
pulau untuk mencari pekerjaan dan untuk mencari penghidupan.
Akan tetapi, jikalau
dalam pada masa emigrasi itu cara pencarian rezeki di tanah Jawa sudah
memperbaiki diri sendiri; jikalau kebutuhan akan cara pencarian rezeki yang
lebih baik itu sudah mendatangkan perbaikan dalam cara pertanian; jikalau tanah
Jawa sudah mulai menginjak tingkat kepabrikan; - maka berhentilah pula emigrasi
itu, dan berhentilah pula keharusan akan mencari rezeki dinegeri lain.
sebab,sebagai yang sudah kita terangkan dimuka,pergaulan hidup sendiri lantas
“mengisap” bagian rakyat yang “lebih” itu!
Sekali lagi kita
mengulangi:Emigrasi ialah suatu “maatschappelijk verschijnsel”,yang mulainya
atau berhentinya ditetapkan oleh masyarakat sendiri itu juga.Karenanya,maka
kita tidak percaya akan bisa terjadinya emigrasi yang sungguh-sungguh,jikalau
memang belum temponya,yakni jikalau pergaulan hidup di tanah Jawa belum memaksa
sendiri akan emigrasi itu dengan
kekuatannya keharusan yang tak terhingga adanya!
Akan tetapi,bolehkah
kita berdiam-diam saja membiarkan kemelaratan yang sekarang ini,sampai emigrasi
itu terjadi sendiri;bolehkah kita tidak berusaha meringankan penghidupan rakyat
itu,dan tidak melalui segenap jalan wajib kita lalui
Tidak,tidak,dan
sekali lagi:tidak!
Kita harus memerangi
segala keadaan yang menambahkemelaratan rkyat itu;memerangi segala hal-hal yang
memberatkan penghidupannya rakyat,yang karena terlalu besarnya bevolkingsaanwas
(tambahnya penduduk), memang sudah berat adanya; memerangi segala hal-hal yang
mengecilkan persediaan rezeki rakyat tadi.
Sebab, asal rezeki
cukup, asal makanan tak kurang, maka sebagai yang kita terangkan dimuka, tak
akanlah rakyat menderita tak kecukupan dan kekurangan, tak akanlah
overbevolking terasa, walaupun bevolkingsaanwas yang bagaimana juga. Karenanya,
haruslah kita melawan segala keadaan yang mengecilkan persediaan makanan rakyat
itu. Dan teristimewa, haruslah kita memerangi industri gula adanya.
Sebab kita
mengetahui bahwa industri ini, walaupun pembela-pembelanya mengatakan, bahwa
“industri ini memberi begitu banyak uang pada sebagian penduduk Jawa”, dengan
“memberi begitu banyak uang” pada orang-orang itu,- hal ini belum tentu berapa
“banyaknya”-, walaupun oleh Schmalhausen dihitung berjumlah empat puluh juta
rupiah setahunnya, ada menimbulkan suatu golongan – rakyat dalam pergaulan
hidup tanah Jawa yang terpadamkan kebutuhannya akan menaikkan pergaulan hidup
itu keatas tingkat yang lebih tinggi, sedang kebutuhan inilah yang harus ada
untuk kenaikan itu. Kita mengetahui bahwa industri ini merusak morilnya
sebagian penduduk tanah Jawa; mengetahui, bahwa atura menanam tebu sekali dalam
tiga tahun diatas satu tepat itu adalah suatu aturan yang memberi keuntungan
pada industri itu dengan percuma, mengetahui, bahwa industri ini tak senang
akan majunya negeri dan rakyat, oleh sebab kemajuan ini tentu menaikkan
upah-upah dan sewa-sewa, lantaran kemajuan itu menambah besarnya kebutuhan
rakyat. Dan tidakkah banyak pula keberatan-keberatan atas industri ini?
Tidakkah ia dengan aturan-aturan-premi telah mengotorkan hubungan kepala-kepala
desa dan rakyat? Tidakkah ia mengecilkan “gemiddeld gronbezit” (milik tanah
rata-rata) sikaum tani? Tidakkah penyewaan tanah ini membikin banyak orang tani
menjadi kaum buruh? Tidakkah hati kita panas kalau kita memekirkan aturan “dag-
en nachtregeling” (aturan siang dan malam), yakni aturan menurut yang mana
tanaman tebu mendapat air waktu siang dan tanaman padi waktu malam? Tidakkah
tanah yang dulunya ditanami tebu menjadi kurang baik bagi tanaman padi?
Tidakkah industri ini menghisap berjuta-juta rupiah dari pegaulan hidup tanah
Jawa? Pendek kata: tidakkah industri ini jauh dari mengayakan, bahkan memelaratkan
tanah Jawa?
Berhubung dengan
kejahatan industri ini, berhubung dengan pengurangan rezeki tanah Jawa itu,
maka kita menuntut hapusnya industri itu sebagai adanya sekarang ini. Dan
jikalau ada yang mengatakan, bahwa penghapusan industri ini akan menerjunkan
rakyat dalam dunia kemelaratan yang lebih hebat dari sekarang, jikalau masih
ada bangsa kita yang menyesalinya, maka kita memperingatkan, bahwa hapusnya
pabrik-pabrik gula di Kabat dan Rogotjampi di afdeling Banyuwangi umpamanya
sama sekali tidak merugukan rakyat, tetapi menguntungkan adanya.
Dan dari jauh kita
mendengar Ir. J. bertanya: “Dimanakah tinjumu? Dimanakah kekuatan yang
menghancurkan segala hal yang melawan?”
Memang,memang!Tiadalah
suatu kekuatan ysng bisa menghancurkan kejahatannya,melainkan kekuatan
pergerakan rakyat,yang sebagai palu-godam haibatnya menjatuhkan hantaman
penuntutannya,dan yang sebagai banjir melenyapkan segala hal yang menghalang-halanginy,jikalau tuntutan
itu tidak dikabulkan.Tiadalah suatu kekuatan yang bisa mendesaknya,melainkan
suatu massa-aksi yang besar dan haibatnya ada berlipat-lipat ganda dari
massa-aksinya Sarikat Islam meminta pengurangannya “suikerrietareaal”(luas
tanah untuk tanaman tebu) pada masa kekurangan-makan beberapa tahun yang
lalu,dan yang, sayang seribu sayang,lalu menjadi sesudah ada pemeriksaan
“kumisi-kumisian”,yang hasilnya. . .kekalnya keadaan yang dulu juga!
Hendaklah kita
mengambil pelajaran dari sia-sianya pergerakan pengurangan suiker-areaal ini:Janganlah kita menolehkan mata dalam usaha
kita daripada maksud yang pertama-tama!Hendaklah kita insyaf,bahwa hanya
perjuangan dalam pergerakan rakyat itu sajalah yang bisa mengundurkan
musuh-musuh kita,dan tidak dalam usaha dewan-dewanan,dimana menurut Ir.J.”dengan
berhadap-hadapan muka dengan musuh,kita punya cara-perlawanan akan mendalam dan
akan menjadi bersih”.
Sebab sebagaimana
kita tak akan bisa mencapai kemerdekaan tanah kita dengan jalan dewan-dewanan
itu,maka kapitalisme-gula tidaklah akan bisa hapus atau lenyap pula dengan
kerja dewan-dewanan itu, melainkan dengan kekuasaan pergerakan rakyat yang
sekuasa-kuasanya dan sehebat-hebatnya!
Memang, benar
sekali, benar sekali, jikalau Ir. J. menanya, dimana kita punya tinju itu
sekarang! Tetapi sebaliknya, kitapun menanya padanya: Dimana tinju tuan,
jikalau modal-modal asing di Sumatra itu menjadi kuat dan kuasa lantaran
sokongan tuan dengan kaum buruh tanah Jawa yang “beratus-ratus ribu” itu?
Dimanakah tinju dan dimanakah “machtsvorming en de invloed van ona Volk om af
teweren die verderfelijke vernielzucht”?
Tuan percaya akan
machtvorming tadi! Wahai, kitapun ada penuh kepercayaan akan masa yang akan
datang. Kitapun ada penuh kepercayaan, bahwa suatu kali rakyat kita pasti
mencapai machtvorming itu pula, dan pasti “masih penuh kekuata untuk ,menjujung
diri menuju Sinar yang Satu yang berada ditengah-tengah kegelap-gelitaan yang
mengelilingi kita ini”.
Kita mengulangi; dan
kita menambah.
Kita mufakat akan
emigrasi; kita ingin pula melihat pemindahan rakyat kelain pulau Indonesia.
Akan tetapi kita mengira, bahwa emigrasi itu tidak bisa terjadi dengan
sesungguh-sungguhnya, jikalau susunan pergaulan hidup ditanah Jawa belum
“masak” baginya. Kita teristimewa menuntut hapusnya industri gula sebagai
adanya sekarang ini, dan yang mengurangi rezeki tanah Jawa itu, untuk
meringankan penghidupan penduduk tanah Jawa sebelum pergaulannya hidup sendiri
sebagai “veilighheidsklep” membangun emigrasi itu.
Kita yakin, bahwa
obat yang semanjur-manjurnya agi penyakit overbevolking ini ialah tiada lain,
melainkan perbaikan-perbaikan cara pertanian dan perbaikan cara pertukangan,
dan berdirinya suatu industri Indonesia dengan modal Indonesia yang
sekokoh-kokohnya, yang nanti akan “mengisap” segenap rakyat yang “lebih”
sebagai yang telah terjadi di Inggris, dinegeri Jerman, dinegeri Prancis, atau
dinegeri Jepang itu, misalnya industri kain untuk mengganti keadaan yang
sekarang, dimana hampir segenab rakyat Indonesia yang berpuluh-puluh juta itu
hampir semuanya sama memakai pakaian yang kainnya dari Eropa, seharga berpuluh-puluh
juta rupiah, sedang kapasnya hendaklah ditanam umpamanya ditanah-tanah Sumatra
yang kini masih kosong itu,seningga penanaman kapas ini bisa memakai
beribu-ribu kaum “lebih” dari tanah Jawa pula adanya.
Kita mengetahui,
bahwa kepabrikan itu bisa pula mengandung racun dan bahaya bagi rakyat dan kaum
buruh sebagai yang sudah terjadi dimana-mana; tetapi kita mengetahui, bahwa
adanya racun dan bahaya ini tidaklah tergantung dari adanya kepabrikan,
melainkan dari caranya kepabrikan itu. Dan walaupun kepabrikan Indonesia ini
pada waktu sekarang terdengarnya masih sebagai suatu impian; walaupun banyak
orang yang menyangkal akan bisa terjadinya kepabrikan itu, maka kita percaya,
bahwa, menurut hukum alam, kepabrikan itu pastilah datang.
Kepercayaan,- kepercayaanlah
yang senantiasa menjadi wahyunya kita punya fikiran dan perbuatan. Dan dengan
kepercayaan ini; dengan kepercayaan bahwa segala obat-obat overbevolking itu
pada waktunya tentu sama datang sendiri; dengan kepercayaan, bahwa suatu masa
kita tentu bisa pula mengenyahkan segala pengaruh-pengaruh yang menembah adanya
bahaya overbevolking itu, maka dengan ketetapan hati kita mengarahkan muka
kepada tempo yang akan datang, dan dengan ketetapan hati kita menyambut hari
kemudian itu.
“Suluh
Indonesia Muda , 1927 “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar