Running Teks

***Isi,bahasa sesuai dengan Buku "Dibawah Bendera Revolusi", hanya ejaan penulisan yang disempurnakan ***

Sabtu, 24 Mei 2014

Dimanakah Tinjumu....? (selesai)

 
Pelajaran yang kita ambil dari fatsal diatas ini  ialah bahwa emigrasi itu tidak bisa terjadi sesungguh-sunguhnya jikalau memang belum temponya.Kita melihat, bahwa di negeri Inggris, dinegeri Jerman, dinegeri Perancis, dinegeri Jepang, emigrasi itu ialah pendahuluannya masa kepabrikan, dan menjadi penolong masa-kekurangan-makan yang ada dimuka masa kepabrikan itu. Tegasnya: emigrasi itu ialah terikat oleh tempo ; emigrasi itu tidak bisa kita adakan dalam sewaktu-waktu saja kalu memang belum musimnya,walaupun kita menyokong bagaimana juga.Emigrasi itu akan terjadi sendiri kalau memang temponya sudah datang. . . .
Dalam pada itu,maka tidaklah kita mengatakan, bahwa kita tidak boleh dan tak harus meratakan jalan untuk emigrasi itu.Sebaliknya: Kita harus bersedia dan kita harus mengaturnya,agar supaya emigrasi itu bisa terjadi dengan gampang dan lekas, nanti kalau temponya sudah datang.Dan tempo itu pastilah datang,oleh karena pergaulan hidup bersama ialah suatu hal yang hidup pula, dan yang senantiasa menuju susunan hidup-bersama ditanah Jawa ini,menurut hukum evolusi ,pasti pula meninggalkan tingkat yang sekarang ini , dan pastilah naik yang ketingkat yang kemudian,yakni:pasti meninggalkan tingkat pertanian yang sekarang ini dan pasti menaik ketingkat kepabrikan.Dan sebelum tingkat kepabrikan itu tercapai,maka lebih dulu terasa penyakit overbevolking itu dengan sekeras-kerasnya;sebelum tingkat yang sekarang ini ditinggalkan,sebelum tingkat kepabrikan itu tercapai,maka haruslah pergaulan hidup tanah Jawa itu melalui tingkat-perubahan,-overgangshpase-,lebih dahulu.Dan tingkat-perubahan ini ialah masa menghaibatnya overbevolking tadi;overgangshpase ini ialahmasa dimana sebagian rakyat tanah Jawa,dari kerasnya overbevolking tadi,sama pindah kelain pulau untuk mencari pekerjaan dan untuk mencari penghidupan.

Akan tetapi, jikalau dalam pada masa emigrasi itu cara pencarian rezeki di tanah Jawa sudah memperbaiki diri sendiri; jikalau kebutuhan akan cara pencarian rezeki yang lebih baik itu sudah mendatangkan perbaikan dalam cara pertanian; jikalau tanah Jawa sudah mulai menginjak tingkat kepabrikan; - maka berhentilah pula emigrasi itu, dan berhentilah pula keharusan akan mencari rezeki dinegeri lain. sebab,sebagai yang sudah kita terangkan dimuka,pergaulan hidup sendiri lantas “mengisap” bagian rakyat yang “lebih” itu!
Sekali lagi kita mengulangi:Emigrasi ialah suatu “maatschappelijk verschijnsel”,yang mulainya atau berhentinya ditetapkan oleh masyarakat sendiri itu juga.Karenanya,maka kita tidak percaya akan bisa terjadinya emigrasi yang sungguh-sungguh,jikalau memang belum temponya,yakni jikalau pergaulan hidup di tanah Jawa belum memaksa sendiri  akan emigrasi itu dengan kekuatannya keharusan yang tak terhingga adanya!
Akan tetapi,bolehkah kita berdiam-diam saja membiarkan kemelaratan yang sekarang ini,sampai emigrasi itu terjadi sendiri;bolehkah kita tidak berusaha meringankan penghidupan rakyat itu,dan tidak melalui segenap jalan wajib kita lalui
Tidak,tidak,dan sekali lagi:tidak!
Kita harus memerangi segala keadaan yang menambahkemelaratan rkyat itu;memerangi segala hal-hal yang memberatkan penghidupannya rakyat,yang karena terlalu besarnya bevolkingsaanwas (tambahnya penduduk), memang sudah berat adanya; memerangi segala hal-hal yang mengecilkan persediaan rezeki rakyat tadi.
Sebab, asal rezeki cukup, asal makanan tak kurang, maka sebagai yang kita terangkan dimuka, tak akanlah rakyat menderita tak kecukupan dan kekurangan, tak akanlah overbevolking terasa, walaupun bevolkingsaanwas yang bagaimana juga. Karenanya, haruslah kita melawan segala keadaan yang mengecilkan persediaan makanan rakyat itu. Dan teristimewa, haruslah kita memerangi industri gula adanya.
Sebab kita mengetahui bahwa industri ini, walaupun pembela-pembelanya mengatakan, bahwa “industri ini memberi begitu banyak uang pada sebagian penduduk Jawa”, dengan “memberi begitu banyak uang” pada orang-orang itu,- hal ini belum tentu berapa “banyaknya”-, walaupun oleh Schmalhausen dihitung berjumlah empat puluh juta rupiah setahunnya, ada menimbulkan suatu golongan – rakyat dalam pergaulan hidup tanah Jawa yang terpadamkan kebutuhannya akan menaikkan pergaulan hidup itu keatas tingkat yang lebih tinggi, sedang kebutuhan inilah yang harus ada untuk kenaikan itu. Kita mengetahui bahwa industri ini merusak morilnya sebagian penduduk tanah Jawa; mengetahui, bahwa atura menanam tebu sekali dalam tiga tahun diatas satu tepat itu adalah suatu aturan yang memberi keuntungan pada industri itu dengan percuma, mengetahui, bahwa industri ini tak senang akan majunya negeri dan rakyat, oleh sebab kemajuan ini tentu menaikkan upah-upah dan sewa-sewa, lantaran kemajuan itu menambah besarnya kebutuhan rakyat. Dan tidakkah banyak pula keberatan-keberatan atas industri ini? Tidakkah ia dengan aturan-aturan-premi telah mengotorkan hubungan kepala-kepala desa dan rakyat? Tidakkah ia mengecilkan “gemiddeld gronbezit” (milik tanah rata-rata) sikaum tani? Tidakkah penyewaan tanah ini membikin banyak orang tani menjadi kaum buruh? Tidakkah hati kita panas kalau kita memekirkan aturan “dag- en nachtregeling” (aturan siang dan malam), yakni aturan menurut yang mana tanaman tebu mendapat air waktu siang dan tanaman padi waktu malam? Tidakkah tanah yang dulunya ditanami tebu menjadi kurang baik bagi tanaman padi? Tidakkah industri ini menghisap berjuta-juta rupiah dari pegaulan hidup tanah Jawa? Pendek kata: tidakkah industri ini jauh dari mengayakan, bahkan memelaratkan tanah Jawa?
Berhubung dengan kejahatan industri ini, berhubung dengan pengurangan rezeki tanah Jawa itu, maka kita menuntut hapusnya industri itu sebagai adanya sekarang ini. Dan jikalau ada yang mengatakan, bahwa penghapusan industri ini akan menerjunkan rakyat dalam dunia kemelaratan yang lebih hebat dari sekarang, jikalau masih ada bangsa kita yang menyesalinya, maka kita memperingatkan, bahwa hapusnya pabrik-pabrik gula di Kabat dan Rogotjampi di afdeling Banyuwangi umpamanya sama sekali tidak merugukan rakyat, tetapi menguntungkan adanya.
Dan dari jauh kita mendengar Ir. J. bertanya: “Dimanakah tinjumu? Dimanakah kekuatan yang menghancurkan segala hal yang melawan?”
Memang,memang!Tiadalah suatu kekuatan ysng bisa menghancurkan kejahatannya,melainkan kekuatan pergerakan rakyat,yang sebagai palu-godam haibatnya menjatuhkan hantaman penuntutannya,dan yang sebagai banjir melenyapkan segala hal  yang menghalang-halanginy,jikalau tuntutan itu tidak dikabulkan.Tiadalah suatu kekuatan yang bisa mendesaknya,melainkan suatu massa-aksi yang besar dan haibatnya ada berlipat-lipat ganda dari massa-aksinya Sarikat Islam meminta pengurangannya “suikerrietareaal”(luas tanah untuk tanaman tebu) pada masa kekurangan-makan beberapa tahun yang lalu,dan yang, sayang seribu sayang,lalu menjadi sesudah ada pemeriksaan “kumisi-kumisian”,yang hasilnya. . .kekalnya keadaan yang dulu juga!
Hendaklah kita mengambil pelajaran dari sia-sianya pergerakan pengurangan suiker-areaal  ini:Janganlah kita menolehkan mata dalam usaha kita daripada maksud yang pertama-tama!Hendaklah kita insyaf,bahwa hanya perjuangan dalam pergerakan rakyat itu sajalah yang bisa mengundurkan musuh-musuh kita,dan tidak dalam usaha dewan-dewanan,dimana menurut Ir.J.”dengan berhadap-hadapan muka dengan musuh,kita punya cara-perlawanan akan mendalam dan akan menjadi bersih”.
Sebab sebagaimana kita tak akan bisa mencapai kemerdekaan tanah kita dengan jalan dewan-dewanan itu,maka kapitalisme-gula tidaklah akan bisa hapus atau lenyap pula dengan kerja dewan-dewanan itu, melainkan dengan kekuasaan pergerakan rakyat yang sekuasa-kuasanya dan sehebat-hebatnya!
Memang, benar sekali, benar sekali, jikalau Ir. J. menanya, dimana kita punya tinju itu sekarang! Tetapi sebaliknya, kitapun menanya padanya: Dimana tinju tuan, jikalau modal-modal asing di Sumatra itu menjadi kuat dan kuasa lantaran sokongan tuan dengan kaum buruh tanah Jawa yang “beratus-ratus ribu” itu? Dimanakah tinju dan dimanakah “machtsvorming en de invloed van ona Volk om af teweren die verderfelijke vernielzucht”?
Tuan percaya akan machtvorming tadi! Wahai, kitapun ada penuh kepercayaan akan masa yang akan datang. Kitapun ada penuh kepercayaan, bahwa suatu kali rakyat kita pasti mencapai machtvorming itu pula, dan pasti “masih penuh kekuata untuk ,menjujung diri menuju Sinar yang Satu yang berada ditengah-tengah kegelap-gelitaan yang mengelilingi kita ini”.
Kita mengulangi; dan kita menambah.
Kita mufakat akan emigrasi; kita ingin pula melihat pemindahan rakyat kelain pulau Indonesia. Akan tetapi kita mengira, bahwa emigrasi itu tidak bisa terjadi dengan sesungguh-sungguhnya, jikalau susunan pergaulan hidup ditanah Jawa belum “masak” baginya. Kita teristimewa menuntut hapusnya industri gula sebagai adanya sekarang ini, dan yang mengurangi rezeki tanah Jawa itu, untuk meringankan penghidupan penduduk tanah Jawa sebelum pergaulannya hidup sendiri sebagai “veilighheidsklep” membangun emigrasi itu.
Kita yakin, bahwa obat yang semanjur-manjurnya agi penyakit overbevolking ini ialah tiada lain, melainkan perbaikan-perbaikan cara pertanian dan perbaikan cara pertukangan, dan berdirinya suatu industri Indonesia dengan modal Indonesia yang sekokoh-kokohnya, yang nanti akan “mengisap” segenap rakyat yang “lebih” sebagai yang telah terjadi di Inggris, dinegeri Jerman, dinegeri Prancis, atau dinegeri Jepang itu, misalnya industri kain untuk mengganti keadaan yang sekarang, dimana hampir segenab rakyat Indonesia yang berpuluh-puluh juta itu hampir semuanya sama memakai pakaian yang kainnya dari Eropa, seharga berpuluh-puluh juta rupiah, sedang kapasnya hendaklah ditanam umpamanya ditanah-tanah Sumatra yang kini masih kosong itu,seningga penanaman kapas ini bisa memakai beribu-ribu kaum “lebih” dari tanah Jawa pula adanya.
Kita mengetahui, bahwa kepabrikan itu bisa pula mengandung racun dan bahaya bagi rakyat dan kaum buruh sebagai yang sudah terjadi dimana-mana; tetapi kita mengetahui, bahwa adanya racun dan bahaya ini tidaklah tergantung dari adanya kepabrikan, melainkan dari caranya kepabrikan itu. Dan walaupun kepabrikan Indonesia ini pada waktu sekarang terdengarnya masih sebagai suatu impian; walaupun banyak orang yang menyangkal akan bisa terjadinya kepabrikan itu, maka kita percaya, bahwa, menurut hukum alam, kepabrikan itu pastilah datang.
Kepercayaan,- kepercayaanlah yang senantiasa menjadi wahyunya kita punya fikiran dan perbuatan. Dan dengan kepercayaan ini; dengan kepercayaan bahwa segala obat-obat overbevolking itu pada waktunya tentu sama datang sendiri; dengan kepercayaan, bahwa suatu masa kita tentu bisa pula mengenyahkan segala pengaruh-pengaruh yang menembah adanya bahaya overbevolking itu, maka dengan ketetapan hati kita mengarahkan muka kepada tempo yang akan datang, dan dengan ketetapan hati kita menyambut hari kemudian itu.
                                                                                         “Suluh Indonesia Muda ,  1927 “
                                                     



Tidak ada komentar:

Posting Komentar